Karya Indonesia – Hamas menegaskan tidak akan melanjutkan perundingan gencatan senjata tahap kedua dengan Israel, kecuali negara itu memenuhi komitmennya untuk membebaskan 602 tahanan Palestina yang disepakati dalam kesepakatan sebelumnya.
Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menunda pembebasan para tahanan tersebut. Akhir pekan lalu, Netanyahu menyatakan bahwa Hamas telah melakukan “pelanggaran” terhadap kesepakatan gencatan senjata. Ia menuduh kelompok tersebut menyerahkan jenazah sandera Israel dari Gaza dengan cara yang “memalukan” dan menggunakan insiden itu untuk “tujuan propaganda.”
Tanggapan Hamas: Israel Harus Patuhi Kesepakatan
Sebagai balasan, pejabat senior Hamas Mahmoud Mardawi menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melanjutkan pembicaraan lebih lanjut sampai Israel mematuhi kewajibannya.
Liverpool Tundukkan Manchester City, Mohamed Salah Pecahkan Rekor Legendaris
“Keputusan Netanyahu mencerminkan upaya yang disengaja untuk mengganggu kesepakatan (gencatan senjata),” kata Mardawi, seperti dilansir dari The New Arab .
Basem Naim, anggota biro politik Hamas, juga menekankan bahwa langkah selanjutnya dalam perjanjian gencatan senjata harus sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya.
“Setiap pembicaraan dengan musuh melalui mediator mengenai langkah selanjutnya bergantung pada pembebasan 620 tahanan Palestina yang disepakati sebagai ganti empat jenazah dan enam sandera Israel yang dibebaskan pada Sabtu (22/2),” ujar Naim.
Ia menambahkan, “Para mediator harus memastikan bahwa musuh (Israel) mematuhi ketentuan perjanjian sebagaimana tercantum dalam teks yang disepakati.”
Kontroversi Penyerahan Jenazah
Perselisihan antara Hamas dan Israel bermula dari insiden penyerahan jenazah pada Kamis (20/2).
Saat itu, Israel menerima empat jenazah dari Hamas sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran sandera. Namun, Institut Forensik Israel kemudian mengonfirmasi bahwa salah satu jenazah yang dikirim bukanlah Shiri Bibas, melainkan individu lain.
Hamas akhirnya mengirim jenazah yang tepat pada Jumat (21/2), yang kemudian dikonfirmasi oleh badan forensik Israel. Meski demikian, Israel tetap menunda pembebasan tahanan Palestina yang dijadwalkan pada Sabtu malam.
Menurut laporan KAN, media Israel, pembebasan para tahanan Palestina awalnya direncanakan berlangsung larut malam “sesuai rekomendasi kepemimpinan politik Israel.” Namun, hingga pagi hari berikutnya, para tahanan belum juga dibebaskan.
Pernyataan Kantor Netanyahu
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa lebih dari 600 tahanan Palestina yang seharusnya dibebaskan pada Sabtu harus ditunda “sampai pembebasan berikutnya terjamin dan tak merendahkan.”
Berdasarkan kesepakatan sebelumnya, Israel wajib membebaskan 620 warga Palestina pada Sabtu, termasuk 445 orang yang ditangkap pasukan Israel dari Gaza. Pembebasan ini merupakan bagian dari batch ketujuh dalam kesepakatan pertukaran sandera.
Masa Depan Perundingan dalam Ketidakpastian
Penundaan pembebasan tahanan Palestina ini memperuncing ketegangan antara Hamas dan Israel. Hamas menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah disepakati bersama.
Sementara itu, Israel berdalih bahwa insiden salah serah jenazah menjadi alasan untuk menunda pembebasan tahanan.
Kini, masa depan perundingan gencatan senjata tahap kedua bergantung pada sikap mediator internasional yang berupaya memastikan kedua belah pihak mematuhi ketentuan kesepakatan.
Namun, jika Israel tidak segera bertindak sesuai komitmen, proses perdamaian dikhawatirkan akan semakin tersendat, memperburuk situasi di wilayah konflik.
Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara Hamas dan Israel, serta pentingnya peran mediator internasional dalam memastikan implementasi kesepakatan secara adil dan transparan.
Bagi rakyat Palestina, pembebasan tahanan adalah isu sensitif yang menjadi simbol perjuangan mereka, sementara bagi Israel, keamanan nasional tetap menjadi prioritas utama.
Dalam kondisi seperti ini, dunia internasional diharapkan dapat berperan aktif untuk mendorong dialog damai dan memastikan hak asasi manusia di kedua belah pihak tetap terjaga.