Karya Indonesia – Pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih (28/2) menjadi sorotan global.
Bukan karena kesepakatan monumental, melainkan karena momen memalukan yang menguak sisi transaksional politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump.
Zelenskyy, yang datang bernegosiasi untuk kesepakatan mineral strategis, justru pulang dengan tangan hampa dan rasa malu akibat perlakuan Trump yang merendahkan.
Trump dan “Realisme Brutal”
Dalam pertemuan yang disiarkan langsung, Trump dan Wakil Presiden JD Vance memperlihatkan gaya negosiasi yang kasar.
Trump secara terang-terangan menyatakan bahwa Ukraina “tidak punya kartu” selain bergantung pada bantuan AS. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa bagi Trump, hubungan internasional adalah transaksi murni—tanpa ruang untuk solidaritas atau nilai demokrasi.
“Ini bukan sekadar perundingan, tapi penghinaan terbuka. Zelenskyy dianggap sebagai pihak yang harus tunduk, bukan mitra strategis,” ujar analis politik internasional, Dr. Susan Rice, dalam komentarnya untuk Foreign Policy .
Pukulan bagi Ukraina, Kemenangan bagi Rusia
Bagi Ukraina, yang telah bertahan tiga tahun melawan invasi Rusia, insiden ini memperparah kerentanan mereka.
Trump tidak hanya menolak memberikan jaminan bantuan tambahan, tetapi juga secara simbolis melemahkan posisi Zelenskyy di mata dunia. Vladimir Putin, di sisi lain, menuai keuntungan politik tanpa perlu bergerak—AS sendiri yang mengikis kredibilitas sekutunya.
Peringatan untuk Indonesia
Kasus ini menjadi cermin bagi Indonesia. Meski banyak yang beranggapan kedekatan personal Presiden Prabowo Subianto dengan Trump bisa memperkuat hubungan bilateral, insiden Zelenskyy membuktikan bahwa loyalitas personal tak cukup di era diplomasi transaksional.
“Trump tidak segan mencabut dukungan bahkan kepada sekutu yang telah menerima miliaran dolar bantuan. Bagi Indonesia, ini adalah alarm untuk tidak terlalu bergantung pada AS,” kata Dr. Dewi Fortuna Anwar, pakar hubungan internasional dari LIPI.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
Diversifikasi Mitra Strategis
Indonesia perlu memperkuat hubungan dengan Uni Eropa, India, Jepang, dan negara-negara Global South.
Kerja sama dengan ASEAN juga harus ditingkatkan untuk membentuk blok yang lebih berdaulat.
Mandiri dalam Pertahanan
Mengandalkan AS untuk keamanan kawasan kini berisiko. Indonesia harus mempercepat pengembangan industri pertahanan dalam negeri dan modernisasi alutsista.
Antisipasi Pendekatan Trump di Indo-Pasifik
Jika Trump kembali berkuasa, AS mungkin akan lebih agresif terhadap China namun tanpa komitmen jangka panjang. Indonesia harus siap mengambil posisi netral tanpa terjebak dalam rivalitas besar.
Kesimpulan: Hanya yang Mandiri Bertahan
Pertemuan Trump-Zelenskyy membuktikan bahwa dalam politik global, kekuatan besar kini lebih oportunistik. Indonesia harus belajar dari nasib Ukraina: tidak ada jaminan kesetiaan abadi. Kemandirian diplomasi dan ketahanan ekonomi-politik adalah kunci untuk bertahan di era ketidakpastian ini.