Karya Indonesia – Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) memasuki babak baru setelah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Namun, pengesahan ini langsung mendapat perlawanan dari sejumlah pihak yang kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengesahan UU TNI dilakukan dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis (20/3) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Beberapa pejabat negara juga turut hadir, termasuk Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, serta Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Dalam rapat tersebut, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, Utut Adianto, menyampaikan laporan pembahasan revisi UU tersebut. Ia menyoroti beberapa poin penting, seperti kedudukan TNI, usia pensiun, serta keterlibatan TNI aktif di kementerian atau lembaga. Utut menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan dwifungsi TNI dalam kehidupan sipil.
Usai laporan disampaikan, Puan Maharani menanyakan kepada anggota dewan apakah revisi UU TNI dapat disepakati menjadi undang-undang. Dengan mayoritas menyatakan persetujuan, Puan mengetukkan palu sebagai tanda pengesahan.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Hanya dua hari setelah disahkan, atau tepatnya pada Sabtu (22/3/2025), revisi UU TNI ini langsung digugat ke MK. Gugatan tersebut diajukan oleh tujuh orang pemohon, yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi.
Berdasarkan informasi dari situs resmi MK, gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 dengan pokok perkara “Permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor … Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia”.
Para pemohon menilai bahwa proses pembahasan revisi UU TNI cacat secara konstitusional dan tidak memenuhi prinsip transparansi serta akuntabilitas. Mereka juga menyoroti beberapa pasal yang dinilai bermasalah, salah satunya Pasal 47 yang memperluas ruang jabatan bagi militer aktif di lingkungan sipil.
Aksi Protes di Depan Gedung DPR
Sebelum dan setelah pengesahan, gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI sudah bermunculan. Pada Kamis (20/3), sekelompok massa melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI. Mereka membawa berbagai poster bertuliskan “Tolak RUU TNI” dan “Supremasi Sipil” sebagai bentuk protes terhadap revisi undang-undang ini.
Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Satya, menyampaikan bahwa proses pembahasan revisi ini tidak hanya bermasalah dari segi substansi, tetapi juga cacat secara prosedural. “Kami menolak pengesahan revisi UU TNI karena banyak pasal bermasalah, salah satunya Pasal 47 yang memberikan ruang lebih luas bagi militer aktif di sektor sipil. Ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil,” ujar Satya.
Ia juga menegaskan bahwa langkah judicial review ke MK adalah salah satu strategi untuk membatalkan UU yang telah disahkan tersebut. “Jika ini disahkan, kami tidak akan berhenti. Kami akan terus berjuang melalui jalur hukum dan solidaritas masyarakat sipil,” tambahnya.
Dengan adanya gugatan ini, Mahkamah Konstitusi diharapkan segera menggelar sidang untuk menguji formil dan materiil dari revisi UU TNI. Putusan MK nantinya akan menjadi penentu apakah UU ini tetap berlaku atau harus direvisi kembali.