Karya Indonesia — Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi , melontarkan kritik pedas terhadap Israel dan Amerika Serikat (AS) pasca berakhirnya perang selama 12 hari antara kedua negara tersebut.
Dalam cuitannya di platform X (dulunya Twitter), Araghchi mengolok-olok ketergantungan Israel pada AS sebagai sikap seorang “anak papa” yang tidak mampu bertahan sendiri saat diserang.
“Rakyat Iran yang Agung dan Perkasa telah menunjukkan kepada dunia bahwa rezim Israel TIDAK PUNYA PILIHAN selain LARI ke ‘Papa’ demi menghindari dihancurkan oleh rudal kami,” tulis Araghchi dalam unggahannya, merujuk pada intervensi militer AS setelah Iran meluncurkan Operasi True Promise 3 sebagai balasan atas serangan Israel.
Kecaman terhadap Ketergantungan Israel pada AS
Melalui pernyataan ini, Araghchi secara eksplisit mengejek aliansi AS-Israel sebagai hubungan satu arah di mana Israel digambarkan sebagai pihak yang lemah dan selalu membutuhkan dukungan eksternal untuk bertahan hidup.
Ia juga menyindir peran AS yang datang membantu Israel dengan menyerang fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan sebagai bentuk campur tangan seorang “ayah” yang melihat anaknya kewalahan dalam pertempuran.
Ancaman bagi Trump: Hormati Khamenei atau Hadapi Konsekuensi
Selain menyerang Israel, Araghchi juga menyampaikan ultimatum keras kepada Presiden AS, Donald Trump , agar menghentikan ucapannya yang dianggap merendahkan Ayatullah Ali Khamenei , Pemimpin Tertinggi Iran.
“Trump harus menyingkirkan nada tidak sopan dan tak dapat diterima terhadap Khamenei dan berhenti menyakiti jutaan pengikut setia beliau,” tulis Araghchi.
Ia menegaskan bahwa jika Trump terus bersikap arogan, maka Iran siap memberikan respons yang tegas dan akan mengakhiri “segala ilusi tentang kekuatan AS.”
“Niat baik dibalas dengan niat baik, dan rasa hormat dibalas dengan rasa hormat,” tambahnya.
Latar Belakang Perang 12 Hari
Perang antara Iran dan Israel meletus pada 13 Juni 2025 , ketika Israel meluncurkan operasi udara besar-besaran terhadap sejumlah situs strategis di Iran, termasuk fasilitas pengayaan uranium.
Respons cepat dari Iran datang dalam bentuk peluncuran puluhan rudal balistik dan drone tempur ke wilayah Israel.
Konflik meningkat ketika Amerika Serikat turut campur dengan menyerang tiga situs nuklir Iran pada akhir pekan lalu. Langkah AS ini dilakukan untuk mendukung sekutu dekatnya, Israel, namun menuai kecaman dari banyak negara Arab dan kelompok internasional.
Gencatan senjata akhirnya dicapai pada 24 Juni 2025 , setelah Trump mengklaim berhasil menengahi kesepakatan tersebut. Namun, baik Teheran maupun Tel Aviv masih saling klaim kemenangan.
Khamenei Klaim Kemenangan, Trump Bantah
Sementara Ayatullah Khamenei menyebut Iran berhasil memberikan “tamparan telak” kepada Israel dan Washington, Presiden Trump menolak klaim itu dan bahkan menyebut Khamenei sebagai pembohong serta “konyol.”
Trump juga membekukan kemungkinan pencabutan sanksi terhadap Iran, meskipun sempat ada pembicaraan awal soal potensi normalisasi hubungan.
Ia bahkan mengklaim memiliki informasi intelijen tentang lokasi rahasia Khamenei, tetapi memilih tidak membunuhnya karena ingin menunjukkan dirinya sebagai “pembawa perdamaian.”
“Jika bukan karena saya, mereka (Khamenei) sudah tidak ada lagi,” kata Trump dalam unggahan di Truth Social.
Tensi Tinggi Pasca-Gencatan Senjata
Meski gencatan senjata telah ditandatangani, ketegangan antara Iran dan Israel belum sepenuhnya reda. Begitu pula hubungan antara Iran dan Amerika Serikat , yang semakin memanas setelah:
Penangguhan kerja sama dengan IAEA,
Pengenaan sanksi baru oleh AS,
Dan penolakan Teheran atas tekanan internasional untuk menghentikan program nuklirnya.
Araghchi menegaskan bahwa Iran tetap akan menjaga kemandirian nasionalnya dan tidak akan tunduk pada tekanan asing, terlepas dari konsekuensi apa pun yang dijatuhkan oleh Washington.
“Iran tidak akan ragu untuk menunjukkan kemampuan nyata-nya, yang pasti akan MENGAKHIRI semua ilusi tentang kekuatan Iran,” tutup Menlu Iran.
Respon Internasional dan Kekhawatiran Dunia
Komunitas internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB, terus memantau perkembangan situasi di Timur Tengah.
Meski gencatan senjata sementara berhasil ditegakkan, banyak analis yang khawatir eskalasi bisa terjadi kembali kapan saja.
Diplomasi global pun menjadi lebih rumit, terutama dengan retorika tinggi dari para pemimpin dan ancaman balasan yang terus dilontarkan.