Karya Indonesia – Presiden Vladimir Putin dari Rusia dan Presiden Xi Jinping dari China dipastikan tidak menghadiri langsung pertemuan puncak BRICS 2025 di Brasil, yang digelar Minggu (5/7).
Ketidakhadiran dua pemimpin negara pendiri BRICS ini memicu pertanyaan serius mengenai arah dan konsistensi koalisi negara-negara berkembang tersebut.
China akan diwakili oleh Perdana Menteri Li Qiang, sementara Rusia menghindari keterlibatan langsung karena tekanan hukum internasional.
“Putin tidak hadir karena adanya surat perintah penangkapan dari International Criminal Court (ICC), dan kehadirannya di Brasil—negara anggota ICC—dikhawatirkan berisiko hukum,” tulis The Guardian.
Putin juga absen pada KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan dengan alasan serupa.
Ketidakhadiran Pemimpin Utama: Isyarat Kemunduran Simbolik?
Presiden Xi Jinping, yang hampir selalu hadir dalam KTT BRICS selama 12 tahun terakhir, tidak memberikan alasan resmi atas ketidakhadirannya.
Beberapa analis menilai absennya Xi sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap perluasan anggota BRICS yang dinilai mengencerkan misi awal koalisi, yakni memperkuat suara negara-negara berkembang melawan dominasi global Barat.
Perluasan Anggota BRICS dan Arah Ideologis Baru
Sejak 2023, BRICS telah memperluas keanggotaannya dengan menambahkan negara-negara baru:
Indonesia
Iran
Mesir
Ethiopia
Arab Saudi
Uni Emirat Arab (UEA)
Namun, perluasan ini menimbulkan tantangan ideologis dan struktural, karena sebagian anggota baru memiliki sistem pemerintahan non-demokratis atau autokratis.
Ketegangan pun muncul di antara negara-negara pendiri seperti Brasil, India, dan Afrika Selatan, yang cenderung mempertahankan posisi diplomatik netral atau pro-demokrasi.
“Penambahan negara-negara dengan profil otoriter membuat BRICS terlihat kurang solid secara nilai,” ujar analis hubungan internasional dari São Paulo University.
Pandangan Brasil: BRICS Bukan Satu-satunya Jalan
Mantan Menlu Brasil dan Duta Besar untuk Inggris, Antonio Patriota, menyatakan bahwa BRICS hanyalah salah satu bagian dari perubahan tatanan dunia menuju dunia multipolar yang tidak lagi didominasi oleh satu kekuatan, seperti Amerika Serikat.
“Kebijakan AS di era Trump justru mempercepat pergeseran kekuasaan global,” kata Patriota dalam forum Overseas Development Institute.
Menurutnya, ketidakselarasan antara AS dan Eropa dalam isu perdagangan, keamanan, dan demokrasi menunjukkan bahwa “blok barat” tidak lagi satu suara, membuka ruang bagi koalisi alternatif seperti BRICS untuk memainkan peran lebih besar di masa depan.
Analisis: BRICS di Persimpangan Jalan
Absennya dua tokoh kunci—Putin dan Xi—di KTT BRICS 2025 mencerminkan ketidaksinkronan tujuan di antara anggota. Di satu sisi, kelompok ini ingin menjadi penyeimbang dominasi G7 dan AS.
Namun di sisi lain, perluasan anggota yang tidak sejalan secara ideologis berpotensi melemahkan kekompakan internal dan arah strategisnya.
Di tengah ketegangan geopolitik global, BRICS menghadapi tantangan: apakah akan tetap menjadi platform kolektif negara berkembang atau justru berubah menjadi aliansi longgar dengan kepentingan yang terlalu beragam?