Karya Indonesia — Hamas menghadapi tekanan internasional untuk segera merespons proposal gencatan senjata terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (29/9/2025).
Trump memberi tenggat tiga hingga empat hari bagi Hamas untuk menandatangani proposal berisi 20 poin terse but.
“Kami hanya butuh satu tanda tangan dan akan sangat merugikan jika mereka tidak menandatanganinya,” ujar Trump di pangkalan militer Quantico, Virginia, Selasa (30/9/2025).
Proposal itu mencakup seruan gencatan senjata, pembebasan sandera dalam waktu 72 jam, penarikan militer Israel, serta reformasi Otoritas Palestina.
Hamas juga diminta menyerahkan senjata, tidak terlibat dalam pemerintahan Palestina di masa depan, dan diberi opsi amnesti maupun jalur aman keluar Gaza bagi anggotanya.
Sejumlah pihak menilai poin-poin tersebut lebih menguntungkan Israel. Misalnya, ketentuan yang samar tentang penarikan pasukan Israel, ketiadaan batas waktu Otoritas Palestina memerintah Gaza, serta ketidakpastian pembentukan negara Palestina.
Meski belum dilibatkan dalam penyusunan, Hamas kini dituntut segera merespons. Qatar dan Mesir sebagai mediator memberi pengarahan kepada Hamas, sementara sejumlah negara Arab dan Muslim — termasuk Turki, Arab Saudi, Indonesia, Pakistan, dan UEA — menyatakan dukungan pada proposal.
PBB melalui Sekjen Antonio Guterres menyerukan semua pihak berkomitmen pada kesepakatan, sedangkan Paus Leo XIV menyebut ada “elemen menarik” dalam proposal dan berharap Hamas segera menerimanya.
Hamas masih menggelar diskusi internal dengan faksi Palestina lainnya. Seorang pejabat senior menyebut proses itu membutuhkan waktu mengingat kompleksitas situasi.
Pengamat menilai, meski proposal sekilas menjawab sebagian tuntutan, isinya justru melemahkan Hamas dengan melengserkannya dari kekuasaan dan mengisolasi Gaza.
“Hamas berada dalam posisi sulit. Tekanan regional membuat mereka mungkin harus menerima, meskipun dengan konsekuensi berat,” ujar Sadeq Abu Amer, Kepala Palestinian Dialogue Group di Turki.
Di sisi lain, Israel juga menghadapi dilema. Netanyahu mendukung proposal itu, namun harus meyakinkan kabinetnya yang diisi pejabat ultranasionalis. Beberapa poin, seperti reformasi Otoritas Palestina dan wacana negara Palestina, ditolak oleh kubu kanan Israel.
Selain itu, Israel harus membebaskan ribuan tahanan Palestina dan jenazah, konsesi yang tidak populer di dalam negeri. Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich bahkan menyebut proposal tersebut sebagai “kegagalan diplomatik besar”.