Karya Indonesia — Ketegangan di Timur Tengah kembali meningkat setelah komandan militer senior Hizbullah, Haytham Ali Tabatabai, tewas dalam serangan udara Israel di Lebanon.
Iran melalui Garda Revolusi (IRGC) mengecam keras serangan tersebut dan mengancam akan memberikan balasan terhadap Israel.
Menurut laporan Al Arabiya, Selasa (25/11/2025), Hizbullah mengonfirmasi bahwa Tabatabai tewas akibat serangan udara Israel yang menghantam kawasan pinggiran selatan Beirut pada Minggu (23/11) waktu setempat.
Kelompok tersebut menyebut Tabatabai sebagai sosok komandan penting yang tetap “berupaya menghadapi musuh Israel hingga saat-saat terakhir hidupnya”.
Kematian Tabatabai menjadi kehilangan terbesar bagi Hizbullah sejak gencatan senjata antara kelompok itu dan Israel diberlakukan pada November 2024.
Gencatan senjata tersebut sebelumnya mengakhiri pertempuran intens lebih dari setahun.
Dalam pernyataan yang dimuat media pemerintah Iran, IRGC menyebut serangan Israel sebagai “kejahatan biadab” dan menegaskan bahwa Hizbullah beserta seluruh “poros perlawanan” memiliki hak untuk melakukan pembalasan.
“Israel akan menghadapi respons yang menghancurkan pada waktu yang kami tentukan,” demikian pernyataan IRGC.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Iran juga mengutuk serangan tersebut dan menyebutnya sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap gencatan senjata 2024 serta kedaulatan Lebanon.
Meski gencatan senjata masih berlaku secara formal, Israel disebut terus melancarkan serangan ke wilayah Lebanon dengan alasan menargetkan infrastruktur dan kelompok bersenjata Hizbullah.
Hizbullah sendiri berada dalam posisi melemah akibat konfrontasi terbaru dengan Israel. Situasi semakin tertekan setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah—sekutu strategis Hizbullah dan Iran.
Kemunduran Hizbullah disebut berdampak langsung pada Iran, termasuk serangkaian serangan terhadap fasilitas nuklir negara tersebut. Pada pertengahan Juni lalu, instalasi nuklir Iran menjadi sasaran pengeboman yang dikaitkan dengan Israel dan Amerika Serikat selama konflik 12 hari yang berlangsung saat itu.
Kondisi ini menunjukkan eskalasi konflik kawasan yang belum mereda dan berpotensi kembali memanas menyusul ancaman balasan dari IRGC.
