Karya Indonesia – Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bone Bersatu menggelar aksi unjuk rasa menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di depan Kantor Bupati Bone, Selasa (19/8).
Aksi dimulai sejak pukul 14.00 Wita. Namun ketegangan meningkat pada sore hari setelah Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman maupun wakilnya tidak hadir menemui massa.
“Kami datang jauh-jauh ke sini, bahkan rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk menyampaikan aspirasi. Tapi bupati dan wakil bupati tidak mau menemui rakyatnya,” ujar koordinator aksi Rafli Fasyah, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com.
Bentrokan Pecah
Situasi kian memanas saat polisi menembakkan gas air mata sekitar pukul 18.30 Wita untuk membubarkan massa. Bukannya mundur, pengunjuk rasa membalas dengan lemparan botol air mineral dan batu.
Bentrokan fisik pecah ketika massa merobohkan pagar dan menjebol kawat berduri untuk menerobos halaman kantor bupati. Aparat gabungan TNI-Polri bersama Satpol PP membentuk barikade dengan tameng guna menghalau massa.
Akibat bentrokan tersebut, sejumlah demonstran maupun aparat mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit. Hingga pukul 22.20 Wita, kericuhan meluas ke gang-gang sekitar kantor bupati. “Kondisi belum kondusif,” kata Zul, aktivis mahasiswa Bone, pukul 23.10 Wita kepada wartawan.
Klarifikasi Pemerintah Daerah
Kepala Dinas Kominfo Bone, Anwar, menyebut bupati dan wakil bupati tengah berada di luar kota. Ia juga membantah isu kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen.
“Kenaikan PBB-P2 di Bone itu tidak mencapai 300 persen, itu hoaks. Kenaikannya hanya 65 persen,” jelas Anwar.
Fenomena Nasional
Bone bukan satu-satunya daerah yang menghadapi gejolak akibat kenaikan PBB-P2. Di Pati, Jawa Tengah, unjuk rasa serupa bahkan berujung tuntutan agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.
Sementara di Cirebon, Jawa Barat, kelompok Paguyuban Pelangi Cirebon telah menolak kenaikan PBB-P2 sejak 2024 dengan berbagai cara, mulai dari aksi jalanan hingga pengajuan judicial review dan laporan ke Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Herman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), fenomena ini muncul karena pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) hingga Rp50,29 triliun tahun ini.
“Cara yang paling gampang untuk mencari pendapatan ya menaikkan pajaknya,” jelas Herman.
Namun, Menteri Sekretaris Negara sekaligus juru bicara Presiden, Prasetyo Hadi, membantah hal tersebut. “Tidak ada penyebabnya karena itu. Itu murni kebijakan masing-masing daerah,” ujarnya.