Karya Indonesia — Presiden Tiongkok, Xi Jinping menyatakan bahwa negaranya dan Amerika Serikat telah mencapai konsensus baru dalam isu ekonomi dan perdagangan usai pertemuan bilateral dengan Presiden AS Donald Trump di Busan, Korea Selatan, Kamis (30/10/2025).
Pertemuan ini menjadi pertemuan pertama kedua pemimpin sejak 2019, dan disebut sebagai langkah penting untuk meredakan ketegangan yang selama ini membayangi hubungan Washington–Beijing akibat perang dagang berkepanjangan.
Konflik tersebut mencakup berbagai sektor strategis, mulai dari ekspor kedelai hingga kendali atas logam tanah jarang (rare earth) yang menjadi bahan vital industri global.
Dalam laporan resmi Xinhua News Agency, Xi Jinping menegaskan bahwa tim negosiasi kedua negara telah bertukar pandangan secara mendalam dan sepakat untuk menindaklanjuti hasil pembahasan agar berdampak nyata bagi stabilitas ekonomi dunia.
“Kedua tim harus segera menyempurnakan dan menerapkan hasil perundingan agar membawa hasil konkret, serta menenangkan pasar ekonomi di China, Amerika Serikat, dan dunia,” ujar Xi.
Xi juga menekankan pentingnya interaksi positif antara kedua negara di panggung regional dan internasional guna memperkuat stabilitas global.
Sementara itu, Presiden Trump menyebut pertemuan tersebut “luar biasa” dan menilai bahwa banyak keputusan penting telah dicapai selama pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam empat puluh menit.
Tak lama setelah pertemuan itu, Kementerian Perdagangan China mengumumkan pencabutan sementara pembatasan ekspor logam tanah jarang, yang sebelumnya diberlakukan bulan ini.
“China akan menangguhkan penerapan langkah pengendalian ekspor selama satu tahun serta menyempurnakan rencana spesifiknya,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan dalam pernyataan resmi.
Kebijakan ini merupakan bagian dari hasil kesepakatan dagang antara kedua negara setelah serangkaian perundingan tingkat tinggi di Malaysia awal pekan ini.
China dikenal sebagai produsen logam tanah jarang terbesar di dunia, komponen utama dalam pembuatan magnet kendaraan listrik, perangkat elektronik, hingga sistem pertahanan militer.
Sejak April lalu, Beijing mewajibkan izin khusus untuk ekspor bahan tersebut, kebijakan yang sempat mengguncang rantai pasok global dan menekan industri manufaktur internasional.
Amerika Serikat sebelumnya menuduh China menggunakan kontrol ekspor sebagai alat tawar dalam negosiasi dagang.
Karena itu, keputusan untuk menangguhkan pembatasan ekspor ini dipandang sebagai sinyal positif pelonggaran sikap Beijing terhadap Washington, sekaligus langkah awal menuju stabilitas ekonomi global yang lebih baik.
