Karya Indonesia — Dunia kembali dikejutkan oleh laporan kekejaman yang dilakukan Kelompok Rapid Support Forces (RSF) di El-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan.
Kelompok paramiliter itu dituduh melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, serta kekerasan brutal terhadap warga sipil setelah berhasil menguasai kota tersebut pada 26 Oktober lalu.
Sejumlah lembaga kemanusiaan menyebut tindakan RSF sebagai bentuk pembersihan etnis sistematis, terutama terhadap komunitas non-Arab di wilayah Darfur.
“Masih ada keluarga di El-Fasher yang menjadi korban penyeretan, penyiksaan, penghinaan, dan kekerasan seksual.
Siapa pun yang meninggalkan kota menuju Tawila berada dalam risiko — jalan itu kini menjadi jalan kematian,” ujar salah satu sumber kemanusiaan yang dikutip media internasional.
Laporan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut lebih dari 460 orang tewas ditembak di sebuah rumah sakit bersalin oleh pasukan RSF.
Rumah sakit tersebut sebelumnya menjadi sasaran empat kali serangan sepanjang Oktober, termasuk pada Minggu lalu yang menewaskan satu perawat dan melukai tiga tenaga medis. Dua hari berselang, enam petugas kesehatan dilaporkan diculik.
“Lebih dari 460 pasien dan pendamping mereka dibunuh di rumah sakit,” tulis WHO dalam laporannya yang dikutip AFP.
Temuan serupa juga diungkap oleh Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale. Citra satelit memperlihatkan tanda-tanda pembunuhan massal di sekitar Rumah Sakit Saudi dan bekas Rumah Sakit Anak di timur El-Fasher.
Yale menyebut adanya pola pembunuhan sistematis di sejumlah lokasi di luar kota.
Pemerintah Sudan menuding Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pihak yang mendanai RSF. Tuduhan itu disampaikan Duta Besar Sudan untuk Mesir, Imadeldin Mustafa Adawi, dalam konferensi pers di Kairo, Minggu (2/11).
“Pemerintah Sudan menyerukan kepada komunitas internasional untuk bertindak segera, bukan hanya mengecam. RSF harus ditetapkan sebagai organisasi teroris, dan para pendananya harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas Adawi.
UEA membantah tuduhan tersebut. Penasihat Kepresidenan UEA, Anwar Gargash, dalam forum di Manama, Bahrain, menegaskan bahwa negaranya tidak memasok senjata kepada RSF dan justru berupaya membantu menghentikan perang.
“Kami semua membuat kesalahan ketika dua jenderal yang kini berperang menggulingkan pemerintahan sipil. Itu adalah kesalahan besar,” ujarnya.
RSF, yang awalnya merupakan pasukan paramiliter pemerintah, berbalik melawan militer reguler Sudan sejak konflik pecah pada 15 April 2023.
Menurut PBB, perang saudara itu telah menewaskan sekitar 20.000 orang dan memaksa lebih dari 15 juta warga mengungsi.
Sejumlah lembaga kemanusiaan internasional kini menyerukan penyelidikan independen terhadap dugaan pembantaian di El-Fasher, serta mendesak dunia agar segera menghentikan kekerasan yang disebut “setara dengan genosida.”
