Karya Indonesia – Belakangan muncul berbagai konten yang memframing Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagai alat kekuasaan.
Tuduhan seperti penangkapan tanpa dasar hukum, penyitaan data digital secara sewenang-wenang, hingga penggeledahan tanpa kontrol ramai beredar di media sosial.
Koordinator Media Fraksi Gerindra DPR RI, Djodi Ridder Putra, menegaskan bahwa arah pembaruan KUHAP justru memperkuat jaminan hak asasi manusia.
“Narasi bahwa aparat bisa menangkap tanpa dasar itu keliru. KUHAP baru justru menghapus ruang subjektivitas dan menggantinya dengan standar objektif yang jelas dan terukur,” ujar Djodi.
Ia menambahkan bahwa tujuan utama reformasi hukum acara pidana adalah memastikan setiap warga diperlakukan manusiawi, transparan, dan adil—bukan memberikan kewenangan tambahan tanpa batas kepada aparat.
Mengapa KUHAP Harus Diperbarui?
Mulai 2 Januari 2026, Indonesia resmi menggunakan KUHP baru. Agar implementasinya tidak tumpang tindih, hukum acara pidana harus selaras dengan materi hukum pidana substantif yang baru.
KUHAP lama yang sudah berusia lebih dari 40 tahun:
• masih mengandalkan standasubjektif
• belum mampu menghadapi perkembangan kejahatan digital,
• serta telah banyak berubah karena putusan Mahkamah Konstitusi.
“Kalau aturan acaranya tetap pakai standar lama, praktik penegakan hukum bisa tumpang tindih. Karena itu pembaruan KUHAP adalah kebutuhan, bukan pilihan,” lanjut Djodi.
Proses penyusunan RUU KUHAP tidak dilakukan secara tertutup. Banyak pihak dilibatkan, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, lembaga independen seperti Komnas HAM, LPSK, dan Kompolnas, hingga institusi penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, PPATK, dan Polri.
“Tidak ada yang dilakukan di ruang gelap. Semuanya melalui rapat, dengar pendapat, konsultasi publik, dan mekanisme resmi. Suara publik terlibat luas,” tegas Djodi.
Beberapa perubahan kunci dalam RUU KUHAP antara lain:
Penahanan berbasis delapan syaraobjektif, bukan kekhawatiran subjektif.
Pendampingan advokat sejak tahap paling awal untuk mencegah penyalahgunaan proses.
Seluruh keberatan harus dicatat dalam BAP sebagai jaminan akuntabilitas.
Wewenang praperadilan diperluas, memberi ruang pengawasan lebih besar terhadap tindakan negara.
Perlindungan eksplisit bagi perempuan, anak, lansia, dan kelompok rentan.
Restorative justice untuk jenisperkara tertentu.
Kewajiban perekaman CCTV pada setiap pemeriksaan.
“Rekaman pemeriksaan itu krusial. Negara dan aparat tidak bisa lagi bekerja tanpa jejak. Transparansi adalah syarat mutlak,” jelas Djodi.
RUU KUHAP membawa paradigma baru: keseimbangan antara kewenangan negara dan hak-hak warga.
“Tersangka bukan objek yang bisa diperlakukan sepihak, tetapi subjek hukum dengan martabat yang harus dihormati,” ujar Djodi.
Ia menutup bahwa reformasi KUHAP merupakan langkah penting menuju sistem peradilan pidana yang lebih modern, objektif, dan berkeadilan.
