Karya Indonesia – Presiden Prabowo Subianto melantik Profesor Brian Yuliarto sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi pada Rabu (19 Februari 2025).
Dengan rekam jejak akademik dan penelitian yang mengesankan, beliau diharapkan dapat mendorong transformasi pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tanah air.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Kemendiktisaintek) telah mencanangkan visi ambisius agar perguruan tinggi menjadi lebih dari sekedar lembaga pendidikan tetapi pusat inovasi yang memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan nasional.
Fokus utamanya adalah pada peningkatan kualitas tiga pilar pendidikan tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat – sebuah konsep yang dikenal dengan Tiga Pendekatan Pendidikan Tinggi.
Banyak siswa yang masuk PTN dengan pengetahuan dasar yang lemah, terutama di bidang eksakta seperti matematika dan sains. Faktanya, dalam hal literasi, mereka tertinggal jauh. Akibatnya proses pembelajaran di kelas terhambat, efektifitas pengajaran berkurang, dan dosen seringkali harus mengulang materi yang seharusnya sudah dikuasai pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Di sisi lain, PTN mendapat tekanan untuk meningkatkan reputasi akademiknya secara global. Namun, alih-alih memperkuat basis akademiknya, banyak PTN yang sibuk mengejar jumlah publikasi internasional sebagai strategi segera untuk meningkatkan peringkatnya.
Idealnya, publikasi dosen harus membantu meningkatkan kualitas pembelajaran, namun sering kali publikasi tersebut hanya menjadi alat branding. Mahasiswa yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama penelitian namun justru diabaikan karena lemahnya pemahaman materi perkuliahan.
Apakah penelitian akademis di perguruan tinggi benar-benar meningkatkan kualitas lulusan? Atau hanya sekadar memoles citra tanpa memperbaiki landasan pendidikan tinggi? Permasalahan ini tentu tidak sepenuhnya salah PTN.
Kegagalan sistem pendidikan dasar dan menengah dalam menghasilkan calon peserta didik yang berkemampuan tinggi menjadi faktor utama yang menyebabkan permasalahan ini sulit diselesaikan. Oleh karena itu, pemerintahan Prabowo Subianto mempunyai tanggung jawab besar untuk membangun sistem pendidikan yang lebih kuat mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Jika Indonesia ingin menyambut “Indonesia Emas 2045” dengan optimisme, Indonesia harus memperkuat landasan pendidikannya secara keseluruhan, bukan hanya sekedar kebijakan jangka pendek.
1. Kualitas pembelajaran
Salah satu persoalan paling mendasar yang dihadapi PTN adalah kualitas pembelajaran di ruang kelas. Apakah materi yang diajarkan dosen benar-benar dipahami oleh mahasiswa? Apakah metode pengajaran mampu menciptakan lulusan yang kompeten dan siap berkontribusi bagi masyarakat serta dunia kerja?
Dalam bidang seperti teknik, kelautan, pertanian, kedokteran, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), ekonomi, dan lainnya, permasalahan ini semakin nyata. Banyak mahasiswa kesulitan mengikuti materi kuliah karena fondasi akademik mereka tidak kokoh sejak awal. Bahkan, untuk soal-soal matematika setingkat SMP, sebagian mahasiswa masih mengalami kesulitan.
Hal ini tidak hanya menghambat pemahaman mereka terhadap mata kuliah yang lebih kompleks, tetapi juga menimbulkan frustrasi di kalangan dosen. Banyak pengajar harus mengulang konsep dasar yang seharusnya sudah dikuasai sebelumnya sehingga membuang waktu dan menurunkan efektivitas pembelajaran. Sebagian dosen memilih untuk tidak peduli karena merasa itu bukan tugas mereka, sementara yang lain terpaksa menurunkan standar pembelajaran.
Tanpa perbaikan yang lebih komprehensif, universitas akan terus menghadapi siklus yang sama: mahasiswa kesulitan memahami materi, dosen frustrasi, dan kualitas lulusan tidak sesuai harapan.
Masalah ini tidak terlalu mencolok di PTN besar di Pulau Jawa, seperti ITB atau IPB University yang menerapkan standar seleksi ketat. Mahasiswa yang tidak mampu mengikuti ritme akademik akan tersaring sejak semester awal.
Namun, di banyak PTN luar Jawa, penerapan sistem seleksi ketat menghadapi tantangan besar. Jika kebijakan drop out diberlakukan dengan standar yang sama seperti di ITB atau IPB University, sebagian besar mahasiswa di kampus-kampus tersebut berisiko gagal melanjutkan pendidikan, yang justru memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Lalu, apakah seleksi yang lebih ketat adalah satu-satunya solusi? Ataukah kita perlu melihat akar masalah yang lebih dalam—yakni sistem pendidikan dasar dan menengah yang gagal membekali siswa dengan kemampuan fundamental sebelum masuk perguruan tinggi? Tanpa perbaikan yang lebih komprehensif, universitas akan terus menghadapi siklus yang sama: mahasiswa kesulitan memahami materi, dosen frustrasi, dan kualitas lulusan tidak sesuai harapan.
2.Riset yang tidak tersambung ke kelas
Apakah realistis melibatkan mahasiswa dengan kemampuan akademik rendah dalam penelitian dosen yang bersifat lanjut (advanced), yang salah satu output-nya diharapkan terbit di jurnal internasional bereputasi (JIB)? Jika melihat kondisi saat ini, jawabannya nyaris mustahil.
Ada kesenjangan besar antara tingkat kemampuan mahasiswa dan kompleksitas penelitian dosen. Riset tingkat lanjut menuntut pemahaman mendalam terhadap teori, metodologi, serta keterampilan analitis yang tinggi—sesuatu yang sulit dicapai jika mahasiswa masih kesulitan memahami konsep dasar. Akibatnya, penelitian dosen berjalan sendiri tanpa tersambung dengan pengajaran di kelas, sementara mahasiswa tetap tertinggal dalam pemahaman fundamental mereka.
Tujuan besar yang diharapkan pemerintah dan masyarakat—agar penelitian dosen dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan berdampak langsung pada mahasiswa—menjadi sulit terwujud. Bagaimana mungkin mahasiswa dapat belajar dari penelitian jika mereka bahkan tidak memahami dasar-dasar ilmu yang digunakan dalam riset tersebut?
Dalam kondisi ini, penelitian di perguruan tinggi berisiko menjadi elitis, hanya dapat diakses segelintir orang dengan kapasitas akademik tertentu, sementara sebagian besar mahasiswa tetap tertinggal.
Namun, ini tidak berarti riset akademik dan publikasi di jurnal internasional bereputasi (JIB) tidak penting. Keduanya tetap berperan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan daya saing universitas di tingkat global.
Meski demikian, riset menjadi kurang bermakna jika mahasiswa tidak bisa terlibat dan memetik manfaatnya. Oleh karena itu, sistem pendidikan tinggi harus memastikan bahwa hasil penelitian dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran agar memberikan dampak nyata bagi mahasiswa.
Fenomena saat ini menunjukkan bahwa pemerintah dan banyak PTN mendorong dosen, dengan berbagai insentif, untuk meneliti dan menerbitkan karya di JIB semata-mata demi meningkatkan peringkat dan reputasi institusi. Sayangnya, fokus ini tidak diiringi dengan upaya nyata untuk memperbaiki kualitas lulusan. Dengan kata lain, publikasi ilmiah telah berubah menjadi alat branding akademik yang sering kali terputus dari proses pembelajaran di kelas.
Dunia perguruan tinggi kini semakin menyerupai dunia saham. Ada institusi dengan fundamental akademik yang kuat—memiliki sistem pembelajaran kokoh, kurikulum relevan, dan lulusan berkualitas. Mereka berorientasi jangka panjang dan mencerminkan nilai riilnya. Namun, ada pula PTN yang lebih mirip saham gorengan—institusi yang lemah secara fundamental, tetapi citranya sengaja didongkrak melalui lonjakan jumlah publikasi tanpa peningkatan kualitas pendidikan yang nyata.
Sayangnya, banyak PTN kita jatuh ke dalam kategori kedua. Alih-alih memperkuat fondasi akademik—seperti peningkatan kualitas pengajaran, kesiapan mahasiswa, serta keselarasan kurikulum dengan kebutuhan industri dan masyarakat—mereka justru sibuk mengejar angka publikasi demi citra dan peringkat. Jika tren ini terus berlanjut, perguruan tinggi di Indonesia hanya akan menjadi pabrik publikasi yang kehilangan esensi utamanya: mencetak lulusan berkualitas dan mampu bersaing di dunia nyata.
Tanpa perbaikan fundamental sejak di bangku sekolah, lonjakan peringkat universitas di atas kertas tidak akan berarti apa-apa bagi masa depan pendidikan kita.
Syamsul Rizal, Guru Besar pada Prodi Ilmu Kelautan dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh