Karya Indonesia – menandai peringatan Hari Sel Sabit Sedunia, sebuah momen penting yang disahkan oleh PBB sejak 2008 untuk meningkatkan kesadaran akan penyakit genetik yang mematikan namun kerap terabaikan: penyakit sel sabit atau sickle cell disease (SCD).
Meski telah berlangsung lebih dari seabad sejak pertama kali diidentifikasi pada 1910 oleh Dr. James B. Herrick, SCD masih menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan global. Penyakit ini ditandai oleh bentuk abnormal sel darah merah menyerupai bulan sabit, yang membuatnya mudah menempel di dinding pembuluh darah, menghambat aliran oksigen, dan menyebabkan nyeri kronis, kerusakan organ, hingga kematian dini.
Fakta Mengejutkan di Balik SCD
Menurut buku Sickle Cell Anemia (2023) karya Ankit Mangla dan kolega, sekitar 300.000 hingga 400.000 bayi terlahir dengan SCD setiap tahun. Sekitar 75 persen di antaranya berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara, di mana hingga 90 persen anak penderita meninggal sebelum usia lima tahun karena keterbatasan diagnosis dan perawatan medis.
Di Amerika Serikat, SCD memengaruhi sekitar 100.000 orang, dan sekitar 1 dari 13 bayi berkulit hitam lahir dengan sifat sel sabit (carrier). Fakta ini memperjelas dimensi rasial dan geografis dari penyakit ini yang masih sangat signifikan hingga hari ini.
Kemajuan Pengobatan Tak Diikuti Kesetaraan Akses
Sejumlah terobosan telah dicapai. Mulai dari penggunaan hidroksiurea di era 1990-an, hingga munculnya terapi berbasis gen dan sel seperti L-glutamin, voxelotor, dan crizanlizumab yang disetujui oleh FDA pada 2017 dan 2019.
Puncaknya, pada 2023, dua terapi gen mutakhir—Casgevy dan Lyfgenia—resmi diotorisasi untuk pasien SCD berusia 12 tahun ke atas. Namun, harga terapi gen yang bisa mencapai ratusan ribu dolar menjadikannya mustahil dijangkau oleh mayoritas penderita di negara-negara berkembang.
Gerakan Global Masih Minim
Sejumlah lembaga, termasuk Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), telah meluncurkan berbagai inisiatif, termasuk kampanye Cure Sickle Cell Initiative dan jejaring SickleInAfrica Network. Namun, disparitas akses layanan kesehatan, terutama di wilayah miskin, tetap menjadi batu sandungan utama.
“Tanpa deteksi dini, terapi yang terjangkau, dan edukasi publik, anak-anak yang terlahir dengan SCD akan terus menjadi korban sistem kesehatan yang tidak merata,” ungkap laporan Milestones in Research and Clinical Progress dari NIH.
Hari Sel Sabit Sedunia: Momentum untuk Bertindak
Hari Sel Sabit Sedunia bukan sekadar momen peringatan simbolis. Ini adalah panggilan aksi global. Tanpa dukungan lintas sektor, investasi riset yang adil, serta distribusi pengobatan yang inklusif, jutaan nyawa akan terus tergelincir dalam penderitaan yang sebenarnya dapat dicegah.
Pada 19 Juni ini, komunitas internasional didesak untuk melangkah lebih jauh dari sekadar kampanye kesadaran. Prioritaskan SCD dalam agenda kesehatan global. Beri ruang bagi suara pasien. Dan pastikan bahwa pengobatan tidak hanya menjadi hak istimewa, tetapi hak dasar manusia.